Catatan Agus Dei
Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka ragam suku bangsa dan adat istiadat. Setiap suku bangsa memiliki keunikannya masing-masing, termasuk salah satunya adalah pakaian adat. Pakaian adat merupakan kostum yang menunjukkan identitas dan menjadi pembeda antar suku, sekaligus simbol untuk mengekspresikan diri tiap suku yang biasanya dikaitkan dengan wilayah geografis atau periode waktu dalam sejarah peradaban manusia.
Pakaian adat juga dapat menunjukkan status sosial, perkawinan, agama, simbol budaya dan karakter penduduk di satu daerah. Pakaian adat biasanya dibedakan pada bentuk baju dan bawahan, corak, motif, serta aksesoris yang dipakai secara turun-temurun.
Pentingnya pakaian adat dalam budaya kita tidak bisa diremehkan. Pakaian adat bukan hanya sekadar busana, tetapi juga merupakan salah satu bentuk ekspresi budaya yang memperkuat eksistensi suatu suku atau masyarakat. Dengan memakai pakaian adat, seseorang dapat merasakan kebanggaan dan ikatan emosional dengan leluhur mereka, serta sebagai tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Namun, sayangnya, dengan perkembangan zaman dan pengaruh budaya luar yang semakin masif, pakaian adat seolah-olah mulai tergeser oleh pakaian modern.
Generasi muda cenderung lebih memilih pakaian barat yang dianggap lebih praktis dan modern.
Hal ini membuat pakaian adat terancam punah dan kekayaan budaya kita semakin tergerus. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus melestarikan dan mempromosikan pakaian adat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari identitas dan kekayaan budaya Indonesia.
Dalam perbincangan dengan penulis, Gubernur Bali 2018-2023, Dr. Ir. I Wayan Koster, MM, menegaskan, sesungguhnya busana adat Bali merupakan identitas, karakter, jati diri, simbol kebanggaan, dan warisan adiluhung leluhur Bali yang mengandung nilai spiritual, etika, estetika dan ekonomi.
Setiap wilayah di Bali memiliki kekayaan khazanah busana adat yang unik dan khas, dengan tata penggunaan mengikuti tradisi, dresta, dan kearifan lokal masing-masing. Pak Koster, menghormati keunikan dan kekhasan busana adat Bali untuk membangun jati diri dan rasa bangga krama Bali terhadap warisan adiluhung leluhur Bali.
“Selama ini busana adat Bali digunakan terbatas hanya dalam kegiatan berkaitan dengan adat dan tradisi. Terlalu lama Pemerintah Daerah tidak memberi perhatian dengan mengeluarkan kebijakan khusus untuk melakukan pelindungan terhadap busana adat Bali. Sangat memprihatinkan melihat kondisi demikian,” papar Pak Koster.
Oleh sebab itu, ketika belum genap sebulan dilantik sebagai Gubernur Bali, Pak Koster, langsung memberlakukan Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali, tertanggal 26 September 2018, yang mengatur penggunaannya setiap Hari Kamis, Hari Purnama dan Tilem, serta Hari Jadi Pemerintah Daerah.
Himbauan juga berlaku kepada penyelenggara kegiatan di Bali, baik tingkat nasional maupun internasional yang diharuskan menggunakan busana adat Bali minimal pada acara pembukaan, termasuk pula dalam berbagai perhelatan penting seperti acara partai politik, pertemuan Kementerian/Lembaga menggunakan busana adat Bali.
Pak Koster, secara aktif dan terus-menerus mempromosikan penggunaan busana adat Bali dalam berbagai kesempatan. Kebijakan ini pun menjadi penanda Bali Era Baru. Kebijakan ini juga secara langsung memperkuat jati diri dan karakter masyarakat Bali serta menanamkan rasa bangga menggunakan busana adat mulai usia anak-anak hingga dewasa yang memberi dampak nyata dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi kerakyatan, seperti: industri mode; pelaku usaha; IKM dan UMKM di Bali.
Pak Koster mengaku, terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 79 tahun 2018 kala itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun ada peran besar dari Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali, Ibu Putri Suastini Koster yang bersama tim ikut mempromosikan pemakaian busana adat Bali.
Bahkan dia saat itu menepis kesan kuno dan kaku pada busana adat Bali. Menurutnya, busana tersebut adalah fashion yang bisa disesuaikan dengan sentuhan modifikasi, sehingga pemakainya bisa tetap tampil gaya sejalan dengan tanggung jawab pelestarian.
“Para leluhur telah mewariskan adat, seni tradisi dan budaya yang begitu beragam, salah satunya busana adat Bali. Karena itu, bagi kita saat ini harus bersepakat kalau keberadaan busana adat sebagai unsur budaya perlu dilestarikan, mengingat ini bagian kearifan lokal warisan leluhur. TP PKK sebagai partner pemerintah, tentunya wajib ikut mensosialisasikan aturan ini dan mengingatkan masyarakat untuk mengikuti dengan penuh rasa tanggung jawab,” ucapnya.
Busana adat Bali memang terkesan identik dan melekat pada pelaksanaan upacara keagamaan. Padahal sesungguhnya, busana ini bisa digunakan oleh seluruh masyarakat tanpa memandang latar belakang agama.
Selain itu, agar masyarakat Bali yang lintas agama tidak merasa risih menggunakan busana adat Bali pada hari yang telah ditentukan, Ibu Putri Suastini Koster berharap para pakar fashion dapat mengelompokkan desain busana adat Bali.
“Jadi ada pembedanya, yang untuk upacara keagamaan seperti apa dan yang digunakan ke kantor itu bagaimana,” jelasnya.
Ketika Pak Koster memberikan kuliah umum belum lama ini di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, respon positif hadir dari mahasiswa soal busana adat dan kain tenun endek Bali.
Gung Mirah, mahasiswa dari Fakultas Seni Pertunjukan mengakui Pak Koster pemimpin yang memiliki segudang ide dan program nyata untuk masyakarat Bali. Bukti nyata ialah payung hukum tentang penggunaan busana adat Bali dan kain tenun endek Bali.
“Ini merupakan upaya nyata dari Pak Koster dalam langkah melestarikan keberadaan busana adat serta kain tenun tradisional yang bisa dikatakan sudah mulai mengalami degradasi, khususnya di kalangan generasi muda. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda terkait penggunaan busana adat yang sesuai pakem serta upaya pelestarian serta pengembangan dari kain tenun tradisional Bali,” tutur Gung Mirah.
Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang juga seorang peneliti fashion, Dr Tjok Istri Ratna memuji langkah Pak Koster saat menjabat gubernur yang begitu konsen terhadap upaya pelestarian adat dan budaya.
Sebagai seorang peneliti, ia menyebut sejumlah regulasi yang dikeluarkan Pak Koster, berdampak signifikan bagi upaya pelestarian Busana Adat Bali dan kain tenun tradisional.
“Sebagai peneliti, saya paham betul apa yang melatarbelakangi keluarnya regulasi itu. Salah satunya rasa khawatir tentang degradasi penggunaan busana adat Bali dan juga kain tenun tradisional,” ujar Dr. Tjok Ratna, di sela kuliah umum Gen-Z Penerus Masa Depan Bali di kampus ISI Denpasar.
Ia juga memberi pemahaman bahwa kain tradisional Bali bukan hanya endek. Menurutnya Bali sangat kaya dengan kain tenun tradisional dari beberapa wilayah. Contohnya, motif tenun dari Karangasem beda dengan motif Klungkung. Inilah sesungguhnya kekayaan budaya yang terus dijaga, dirawat dan dilestarikan tanpa batas waktu.
Hadirnya payung hukum berupa Peraturan Gubernur Bali No 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali dan Surat Edaran Gubernur Bali No 4 Tahun 2021 tentang penggunaan Kain Tenun Endek Bali, merupakan upaya nyata dari pemerintah dalam melestarikan keberadaan busana adat serta kain tenun tradisional yang bisa dikatakan sudah mulai mengalami degradasi, khususnya di kalangan generasi muda.
Untuk itu perlu dilakukan secara kesinambungan kepada masyarakat, khususnya generasi muda terkait penggunaan busana adat yang sesuai pakem dan upaya pelestarian serta pengembangan dari kain tenun tradisional Bali.
Semua komponen harus bersinergi dalam menjaga kelestarian dari busana adat serta keberadaan kain tenun Bali. Payung hukum sudah ada, sekarang waktunya bagi kita semua yang mendiami tanah Bali dan mencintai Bali untuk berperan nyata dan ambil bagian dalam upaya pelestarianya. Semoga!!
Penulis adalah Akademsi /mantan wartawan