BREAKING NEWS
PT. TERAS MEDIA SEJAHTERA (terasbalinews.com). AHU-0012026.AH.01.01.TAHUN 2023.
Aku Lapor Pajak

Munculkan Kriminalisasi, Aliansi Reformasi KUHP Dorong RKUHP Dievaluasi

banner 120x600

(foto : Ist) Aliansi Reformasi KUHP gelar diskusi
DENPASAR – Rancangan Kitab Undang-undang Pidana (RKUHP) terkait pembatasan pemberian informasi dan edukasi terhadap Keluarga Berencana menuai kontroversi. Aliansi Reformasi KUHP mendorong evaluasi dan pembahasan terhadap pasal-pasal tersebut.
Direktur Daerah PKBI Bali, I Komang Sutrisna dalam diskusi publik terfokus dampak disahkannya RKUHP terhadap isu reproduksi dan kesetaraan gender mengatakan, Aliansi menemukan ada pasal-pasal bermasalah dalam berbagai aspek termasuk di antaranya aspek kesehatan.
“Pasal-pasal bermasalah tersebut dapat menimbulkan kriminalisasi pada upaya promosi alat kontrasepsi, kriminalisasi penghentian kehamilan, penggelandangan, setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan, dan hukum yang hidup di masyarakat. Jika RKUHP disetujui akan dapat menghambat pewujudan masyarakat yang berkualitas dan sehat di Bali,” ucapnya.
Pertama, kriminalisasi terhadap promosi alat pencegah kehamilan termasuk kontrasepsi. Dalam RKUHP, terdapat pembatasan penyiaran tulisan yang menawarkan atau mempertunjukkan alat kontrasepsi, yang hanya dapat dilakukan oleh petugas berwenang atau melalui penunjukkan oleh pejabat yang berwenang.
Kedua, kriminalisasi terhadap setiap perempuan yang melakukan penghentian kehamilan meskipun terdapat indikasi medis atau korban perkosaan.
“Perempuan korban Kehamilan yang Tidak Direncanakan (KTD), yang melakukan penghentian kehamilan juga berpotensi untuk dikriminalisasi, termasuk pada kasus indikasi medis dan korban perkosaan sebagaimana yang dikecualikan dalam UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,” kata Komang.
Ketiga, kriminalisasi terhadap setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan. Dalam RKUHP, terjadi perluasan kriminalisasi yang menyasar pada persetubuhan di luar perkawinan dengan ancaman dua tahun penjara. Hal ini bisa berdampak pada timbulnya kecurigaan masyarakat dan kesewenang-wenangan aparat yang berpengaruh makin suburnya persekusi.
“Pasal zina dan hidup bersama juga berpotensi mempidana orang-orang yang tidak mencatatkan pemikahannya ke negara karena melakukan tanpa pencatatan atau karena alasan akses dan biaya. Hal ini benar-benar ditemukan di Bali, di mana orang-orang tidak menginstitusionalkan pernihakannya secara adat maupun negara karena biaya pernikahan adat dan negara yang tidak sedikit,” paparnya.
Keempat, kriminalisasi terhadap orang yang bergelandangan di tempat umum. RKUHP menuliskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana paling banyak Rp1 juta.
“Namun demikian, unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapal diinterpretasikan secara luas dan berpotensi overkniminalisasi terhadap bentuk pekerjaan baru dan anak yang terlantar,” jelasnya.
Kelima, hukum yang berlaku di masyarakat. RKUHP mencoba mengakomodir hukum-hukum adat di Indonesia melalui pasal mengenai hukum yang berlaku di masyarakat. Namun frasa ‘hukum yang berlaku di masyarakat’ berlaku multitafsir.
Dalam tafsirnya sekararg, pasal ini berpotensi digunakan oleh oknum-oknum daerah untuk melanggengkan sikap-sikap diskriminatif dan perghukuman yang tidak manusiawi. Selain itu, perlu diperhatikan subjek-subjek yang terlibat dalam hukum adat, seperti pemangku adat dan masyarakat adat.
“Di Bali misalnya, ada tiga kelompok yang terlibat dalam hukum adat, di antaranya orang asli, krama tamiu, dan tamiu, yang mana pelibatannya berada pada porsinya masing-masing. Wewenang dan tugas tentang eksekutif/legislatif negara dan pemangku adat harus menjadi perhatian penyusun RKUHP,” ucap Komang Sutrisna.
Selain dari PKBI dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Reformasi KUHP Bali seperti LBH Apik, LBH Bali, Yakeba, YCUI, Gaya Dewata, Yayasan Kerti Praja, Yayasan Maha Boga Marga, Yayasan Spirit Paramacita, Yayasan Rama Sesana dan organisai lainnya, diskusi yang digelar, 12-13 Agustus 2019 juga dihadiri intansi terkait.
Di antaranya perwakilan tokoh desa adat, akademisi, praktisi hukum, Kementerian Agama Provinsi Bali, BKKBN Provinsi Bali, serta Dinas Kesehatan Provinsi Bali.(zar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *