DENPASAR – Survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), pada 7 Maret 2017 menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga paling korup. Sebayak 54 persen responden menilai lembaga perwakilan rakyat tersebut sebagai lembaga terkorup. Sementara urutan kedua terdapat birokrasi (50 persen), DPRD (47 persen), Dirjen Pajak (45 persen), Kepolisian (40 persen), kementerian (32 persen), pengadilan (32 persen), pengusaha (25 persen), dan tokoh agama (7 persen).
Diakui atau tidak praktik korupsi selama ini memang tumbuh subur di lembaga legislatif baik di DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi hingga DPR RI. Banyak anggota Dewan yang akhirnya menjadi “pesakitan” dan memakai rompi kuning KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Lalu berganti status dari wakil rakyat menjadi berlabel koruptor, “perampok uang rakyat.”
Praktik korupsi para anggota Dewan ini menurut politisi PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) Bali H.M. Eko Budi Cahyono, S.E.,M.M.,M.H.,juga tidak terlepas dari lemahnya penguasaan dan pemahaman penganggaran dari para wakil rakyat ini. Bahkan Eko bisa memahami banyaknya anggota dewan yang terjerat kasus korupsi membuat persepsi publik terhadap lembaga legislatif ini negatif.
“Banyak anggota Dewan ditangkap karena korupsi. Ini juga karena mereka banyak yang tidak paham budgeting, tidak tahu jelas seperti apa struktur keuangan negara,” kata Eko yang juga caleg DPR RI dapil Bali dari PKB nomor urut 2 itu di Denpasar, Sabtu (22/9/2018).
Seperti diketahui, anggota legislatif mempunyai tiga fungsi yakni budgeting (penganggaran), legislasi (pembuatan kebijakan seperti UU ataupun peraturan daerah) dan controlling (pengawasan). Namun tidak sedikit anggota Dewan yang “bermain anggaran” misalnya dalam persetujuan suatu program di APBN atau ABPD maupun dalam fasilitasi anggaran hibah dan bansos (bantuan sosial).
Contoh kasus yang sangat memperhatikan adalah kasus korupsi massal dimana sebanyak 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, berstatus tersangka suap. Mereka ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan suap pembahasan APBD-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015.
Uang suap dialirkan ke DPRD agar penetapan rancangan peraturan daerah Kota Malang tentang APBD-P Tahun Anggaran 2015 disetujui. Sebanyak 22 orang yang belakangan ditetapkan tersangka diduga menerima fee Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton.
“Kondisi itu tentu sangat miris. Kalau mereka tahu budgeting dengan benar dan sadar betul seperti apa konsekuensi kalau bermain-main dengan anggaran tentu tidak akan terjerat kasus korupsi,” ungkap Eko yang juga pendiri Ekonomi Bali Creatif ini.
Citra buruk terhadap lembaga legislatif dan oknum anggota Dewan di dalam yang merusak citra lembaga terhormat menurut Eko menjadi tantangan besar dalam Pileg 2019 agar lahir anggota legislatif yang benar-benar bersih dan berintegritas.
“Tidak malah jadi koruptor setelah terpilih,” papar penulis buku ekonomi bisnis “best seller” berjudul “Sukses Ada di Pikiran dan Infrastruktur Ekonomi” itu.
Untuk itulah salah satu alasan mengapa dirinya juga tergerak ingin ikut membenahi citra dan kinerja lembaga legislatif di DPR RI. Baginya lembaga legislatif perlu diisi lebih banyak orang yang punya integritas dan kejujuran serta niat “ngayah” untuk kepentingan masyarakat.
“Perbaikan citra korup lembaga DPR harus dimulai dari kualitas input para calegnya. Masyarakat juga harus jeli melihat rekam jejak caleg pilihan,” pungkas pria yang juga pernah menjadi tenaga ahli Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal itu.(red)