TABANAN (terasbalinews.com). Jatiluwih, sebuah kawasan subak di Tabanan yang terkenal dengan keindahan teraseringnya, kembali melaksanakan Ngusaba Alit, sebuah tradisi yang menjadi bagian penting dalam kehidupan petani Bali.
Tradisi ini tidak hanya menjadi cara petani memohon keberkahan untuk hasil panen, tetapi juga wujud nyata dari filosofi Tri Hita Karana, yang mengajarkan keselarasan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
“Ngusaba Alit adalah cara kami, petani di Jatiluwih, menjaga hubungan dengan alam. Dengan tradisi ini, kami tidak hanya merawat sawah, tetapi juga masa depan,” ujar Jhon Ketut Purna, Kepala Pengelola Desa Jatiluwih, Sabtu (30/11/2024).
Ngusaba Alit dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen dan harapan akan keberlanjutan pertanian di masa mendatang. Upacara ini dilakukan saat padi mulai menguning, menandai momen penting dalam siklus pertanian Bali. Bagi masyarakat Jatiluwih, padi bukan sekadar tanaman, tetapi simbol kehidupan yang harus dijaga dan dihormati.
Pelaksanaan Ngusaba Alit melibatkan seluruh anggota subak, baik laki-laki maupun perempuan. Bersama-sama mereka mempersiapkan rangkaian acara yang dimulai dari penyucian lingkungan, persembahyangan di pura subak, hingga kegiatan gotong royong memperbaiki saluran irigasi. Kehadiran pemangku atau pendeta sebagai pemandu spiritual memberikan dimensi religius yang mendalam pada upacara ini.
Lokasi pelaksanaan biasanya berada di pura-pura kecil yang tersebar di tengah sawah atau di tepi sungai, menciptakan suasana sakral yang selaras dengan keindahan alam sekitar. Di Jatiluwih, tradisi ini menjadi lebih istimewa karena beriringan dengan kegiatan ekologis, seperti membersihkan area persawahan dan memastikan keberlanjutan sistem subak.
Di tengah perkembangan zaman, Ngusaba Alit tetap relevan dengan tantangan modern. Selain menjaga tradisi, kegiatan ini juga mencerminkan komitmen masyarakat Jatiluwih terhadap pelestarian lingkungan. Gotong royong memperbaiki saluran irigasi, misalnya, adalah langkah konkret untuk memastikan sistem pengairan tetap berjalan optimal, mendukung kelestarian pertanian berkelanjutan.
“Kami percaya bahwa kelestarian sawah ini adalah warisan untuk generasi mendatang. Ngusaba Alit menjadi pengingat bahwa kita tidak hanya bertani untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan,” lanjut Jhon Ketut Purna.
Sebagai salah satu destinasi wisata yang diakui UNESCO, Jatiluwih menawarkan lebih dari sekadar pemandangan indah. Melalui Ngusaba Alit, wisatawan dapat melihat langsung bagaimana tradisi, budaya, dan keberlanjutan hidup berdampingan dengan harmoni. Upacara ini menjadi undangan bagi dunia untuk belajar tentang nilai-nilai lokal yang mengutamakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan pelestarian alam.
Dengan tetap melestarikan tradisi ini, masyarakat Jatiluwih memberikan contoh bahwa modernisasi tidak harus mengorbankan akar budaya. Ngusaba Alit bukan hanya cerita tentang petani dan sawah, tetapi juga cermin tentang bagaimana manusia seharusnya hidup berdampingan dengan alam, dalam harmoni dan rasa syukur (IJL).