DENPASAR (terasbalinews.com). Made Dwi Yoga Satria alias MDYS (43) angkat bicara terkait pelaporan dirinya ke Kepolisian Daerah (Polda) Bali atas dugaan pengeroyokan terhadap SKEG (29), warga negara asing asal Jerman.
“Kami tegaskan tidak ada pengeroyokan oleh klien kami seperti laporan dimaksud,” kata tim kuasa hukum Made Yoga, Daniar Trisasongko,di Denpasar, Sabtu (23/11/2024).
Daniar menerangkan, awal kejadian di mana dirinya bersama dua rekannya, Denma Bachrul dan Ni Luh Gde Shinta Dewi mendampingi kliennya datang ke TKP yang berada di Jalan Toyaning II Nomor 14, Ungasan, Kuta Selatan, Badung, Sabtu (16/11/2024) siang.
Kedatangan mereka untuk mengecek kondisi rumah milik kliennya. Namun kehadiran mereka rupanya tidak disambut baik dan dihalang-halangi oleh SKEG dan ARS, warga negara Amerika Serikat sehingga terjadi adu mulut, trjadilah ketegangan diantara mereka.
Made Yoga selaku pemilik rumah merasa terkejut lantaran rumahnya dalam kondisi terkunci. Oleh tim kuasa hukum, pintu rumah kemudian dibuka paksa.
Mereka kemudian masuk dan mendapati barang-barang seperti koper, baju dan lain-lain. Belakangan diketahui jika barang-barang tersebut milik warga negara asing serta milik SKEG.
“Jadi rupanya SKEG menyewakan rumah klien kami ke warga negara asing, tanpa sepengetahuan klien kami. Sehingga kami minta barang-barang tersebut dikeluarkan,” ungkap Daniar.
Setelah itu, SKEG dengan dibantu sejumlah stafnya mengeluarkan semua barang-barang dari dalam rumah milik Made Yoga secara sukarela.
Terkait dengan pernyataan kuasa hukum SKEG yang menyebut tindakan Made Yoga tak ubahnya mafia tanah, Daniar mempertanyakan maksud dari ucapan tersebut.
Ia menegaskan bahwa kliennya merupakan pemilik sah dari rumah di Jalan Toyaning II Nomor 14, Ungasan, Kuta Selatan, Badung. Hal itu dibuktikan dengan kepemilikan berupa sertifikat yang dikeluarkan BPN.
“Maksud dari kalimat mafia tanah itu apa? Sementara klien kami membeli rumah tersebut dengan harga normal, ada bukti pembayaran dan lain-lain. Dan rumah tersebut sudah bersertifikat atas nama klien kami,” tuturnya.
“Sehingga saran kami kepada rekan seprofesi, semestinya sebelum mengeluarkan pernyataan alangkah baiknya mencari tahu terlebih dulu,” sambung Daniar.
Di tempat yang sama Made Yoga membantah bahwa dirinya membawa puluhan orang saat mendatangi rumahnya. Hal ini untuk meluruskan tudingan dari kuasa hukum SKEG.
Dirinya menerangkan, saat itu ia datang bersama tiga orang tim kuasa hukum, dua orang stafnya dan tiga orang tukang bangunan untuk memperbaiki rumahnya apabila ada kerusakan.
Karena terus dihalang-halangi oleh SKEG dan ARS, terjadi ketegangan namun tidak sampai terjadi aksi pengeroyokan, seperti dalam laporan.
“Dari yang saya baca dipemberitaan, saya dilaporkan atas dugaan tindak pidana kekerasan secara bersama-sama terhadap orang dan barang, sesuai Pasal 170 KUHP,” kata Yoga.
“Apa mereka tidak paham dengan isi dari pasal tersebut, karena pada saat terjadi ketegangan masih berada di areal rumah saya sendiri, bukan di kawasan publik,” terangnya.
Sebelumnya kuasa hukum SKEG mengatakan bahwa masalah ini bermula dari adanya perjanjian kerja sama dan perjanjian sewa-menyewa/pengelolaan vila selama 15 tahun.
Namun menurut Made Yoga, perjanjian kerja sama yang dibuat antara SKEG dari PT Swope dengan Ni Luh Mega Maryani sudah cacat hukum.
“Menurut saya perjanjian yang dibuat antara Mega dan SKEG batal demi hukum. Kenapa demikian, karena perjanjian tersebut sudah melanggar Undang-undang nomor 6 tahun 2007 tentang penataan ruang,” tegasnya. (red)