BREAKING NEWS
PT. TERAS MEDIA SEJAHTERA (terasbalinews.com). AHU-0012026.AH.01.01.TAHUN 2023.
Pasang iklan disini ( 970x250 pixel )
WhatsApp +62 819-3301-0005

Giri Kusuma Bontihing: Delapan Dekade Menabuh Warisan, Menyulam Makna di Pesta Kesenian Bali 2025

Sekaa Gong Kebyar Legendaris Giri Kusuma Bontihing saat membawakan karya-karya bersejarah penuh makna spiritual dalam Utsawa Gong Legendaris Pesta Kesenian Bali 2025 di Panggung Terbuka Ardha Candra, Denpasar (28/6). (foto/ist).
banner 120x600
Pasang iklan disini ( 468x60 pixel )
WhatsApp +62 819-3301-0005

BULELENG (terasbalinews.com) – Delapan puluh tahun bukan usia yang singkat, apalagi untuk sebuah kelompok seni tradisional. Namun semangat Sekaa Gong Kebyar Giri Kusuma dari Desa Bontihing, Buleleng, tetap menyala terang. Hal itu mereka buktikan lewat penampilan penuh daya magis dalam ajang Utsawa Gong Legendaris di Pesta Kesenian Bali (PKB) 2025 yang digelar di Panggung Terbuka Ardha Candra, Denpasar, Sabtu (28/6).

Koordinator sekaa, I Putu Sudiarsa, mengungkap bahwa persiapan untuk momen ini telah dilakukan jauh-jauh hari sejak Desember 2024. Mereka menampilkan empat karya unggulan—dua tabuh dan dua tari—yang tidak hanya indah secara musikal, namun juga sarat makna sejarah dan spiritualitas.

Salah satu karya yang mencuri perhatian adalah Tabuh Kreasi “Pudak Sumekar” ciptaan maestro Made Keranca. Komposisi ini menggambarkan keindahan bunga pudak yang bermekaran di sekitar Pura Beji dan sumber air Kayoan, titik spiritual yang sakral bagi masyarakat Bontihing.

“Karya ini adalah doa alam yang kami wujudkan dalam suara,” ucap Sudiarsa dengan penuh makna.

Dari era yang berbeda, Giri Kusuma juga mengangkat Tabuh Telu “Dwi Mekar” (1984), yang menjadi simbol keberanian mereka menyeimbangkan pakem klasik dengan eksperimen musikal. Karya ini memperlihatkan bagaimana gamelan Bali dapat bergerak luwes namun tetap teguh dalam akar tradisinya.

Tak hanya lewat suara, narasi kuat juga disampaikan melalui gerak. Dalam Tari Kekelik, almarhum I Nyoman Durpa merangkai kisah satir tentang sang burung besar, Kekelik, yang congkak dan menindas kawanan burung kecil. Namun lewat persatuan, kawanan itu akhirnya bangkit melawan.

“Kekelik adalah cermin zaman. Ketika kesombongan dilawan dengan kebersamaan,” kata Sudiarsa, menegaskan pesan sosial di balik tarian tersebut.

Sementara itu, Tari Baris “Sura Murti” tampil dengan kekuatan heroik, membawa penonton masuk ke dalam semangat Baratayuda. Karya garapan I Nyoman Kartina Laksana ini mengambil inspirasi dari sosok Bimasena, menampilkan pasukan Baris dalam formasi bergada, membakar semangat kepahlawanan dan bakti kepada tanah air.

Di penghujung penampilan, harapan pun disampaikan Sudiarsa bahwa karya-karya ini tak sekadar menjadi hiburan di panggung, tetapi juga mampu menginspirasi generasi muda untuk tetap mencintai, menjaga, dan melestarikan seni tradisi.

“Kami ingin karya ini menjadi tuntunan, bukan sekadar tontonan.” Ndra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *