“Pada saat saya dipanggil oleh pihak BPN, semua dokumen saya bawa. Ada 15 putusan mulai dari putusan tingkat Pengadilan Negeri hingga putusan dari Mahkamah Agung (putusan PK). Jadi putusan pengadilan yang saya bawa ini mulai dari putusan tahun 1974 hingga putusan tahun 2020,” kata Ipung.
Lima belas putusan dan lima putusan yang menetapkan bahwa tanah tersebut milik Daeng Abdul Kadir putusan tersebut adalah, putusan Pengadilan Negeri NO. 99/Pdt. G/1974/PN. Dps, putusan Pengadilan Tinggi NO. 238/Pdt/1975/PT. Dps, putusan Pengadilan Negeri NO. 588/Pdt. G/2017/PN. Dps, putusan Pengadilan Tinggi NO. 150/Pdt/2018/PT. Dps dan putusan Mahkamah Agung atau putusan PK NO. 796 PK/PDT/2020.
Baca Juga :Batal Tutup Jalan, Ipung : Ada Skenario untuk Pidanakan Saya
Baca Juga :Ipung Persatukan Ibu dan Kedua Anaknya yang Lama Terpisah
Baca Juga :Mandadak Muncul Isu Swadaya Masyarakat atas Tanah Miliknya di Serangan, Ipung Anggap Itu Lucu
Selain itu, dalam pertemuan Ipung juga membawa pipil, fotocopy satu set seluas 12 are dan bukti pembayaran pajak 2 hektar 14 are. “Dan saya juga bawa foto peta gambar tanah saya kepada BPN,” ungkap wanita yang juga salah satu pengacara senior di Bali ini.
Atas dokumen yang diberikan kepada pihak BPN itu, Ipung mengatakan bahwa pihak BPN juga mengakui bahwa jika melihat dari dokumen yang ada padanya memang benar tanah yang dibangun jalan ini adalah milik Ipung.
Nah, dari pertemuan di tanggal 29 Juli 2022 ini, Ipung mengatakan dia baru mengetahui bahwa HGB No 81, 82 dan 83 atas nama BTID itu adalah pecahan dari HGB No 4 yang diterbitkan pada bulan Juni 1993 dan akan berakhir pada bulan Juni 2023.
“Ini bagaimana ceritanya, kenapa bisa jadi HGB 81, 82 dan 83? Jadi menurut saya dengan memecah HGB no 4 menjadi tiga HGB ini adalah untuk mengaburkan HGB no 4 yang diterbitkan tahun 1993 itu. Makanya 2016 dan 2017, HGB nomor 4 yang awalnya diterbitkan bulan Juni 1993 dipecah untuk menutupi HGB nomor 4. Jelas sudah mau mengaburkan yang no 4 ini,” ungkapnya.